WELCOME TO BINTARA'S BLOG

Sabtu, 25 Januari 2014

”Pemahaman Wawasan Kebangsaan Untuk Ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI )Tercinta guna Antisiapsi Gerakan Komunis & Terorisme”



”Pemahaman Wawasan Kebangsaan Untuk Ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI )Tercinta guna Antisiapsi Gerakan Komunis & Terorisme”
     

“Perjuangan Mewujudkan Negeri Ini Terhormat di Muka Bumi adalah Pusaka Pendiri Bangsa yang Dititahkan untuk Generasi Muda”
(Kidung Perjuangan Pemuda)
                                                                                                                                        
              Konsep atau makna kesadaran dapat diartikan sebagai sikap perilaku diri yang tumbuh dari kemauan diri dengan dilandasai suasana hati yang ikhlas/rela tanpa tekanan dari luar untuk bertindak yang umumnya dalam upaya mewujudkan kebaikan yang berguna untuk diri sendiri dan Bangsanya.
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara Indonesia mempunyai makna bahwa individu yang hidup dan terikat dalam kaidah dan naungan di bawah Negara Kesatuan RI harus mempunyai sikap dan perilaku diri yang tumbuh dari kemauan diri yang dilandasasi keikhlasan/kerelaan bertindak demi kebaikan Bangsa dan Negara Indonesia.
Benarkah bahwa kesadaran berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia melemah, apa gejalanya, apa penyebabnya, dan bagaimana cara mengatasinya?;
              Gejala kesadaran berbangsa dan bernegara yang belum baik itu dapat kita lihat dalam perilaku individu sebagai rakyat maupun pejabat yang masih menunjukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah hukum, seperti mafia hukum, merusak hutan, pencemaran lingkungan, tindak kriminalitas, lebih mementingkan diri dan kelompok, korupsi, bersikap kedaerahan yang berlebihan (daerahisme) atau etnisitas yang berlebihan, bertindak anarkhis, penggunaan narkoba, kurang menghargai karya bangsa sendiri, mendewakan produk bangsa lain, dan sebagainya. Merosotnya kesadaran berbangsa dan bernegara karena empat hal sekaligus sebagai tantangan ke depan, yakni sebagai berikut:
Pertama:
Karena globalisasi, berkat kemajuan teknologi informasi dan transportasi, menjadikan seakan-akan kita telah menjadi warga dunia sehingga identitas sebagai bangsa yang mandiri dan mempunyai kharakteristik sendiri menjadi lebur dengan bangsa lain yang juga hilang identitasnya. Akibatnya, tumbuh dan muncul budaya dunia/global. Identitas sebagai bangsa semakin tidak jelas. Kedaulatan semakin menjadi mitos. Ketergantungan antar Negara semakin tinggi.
Kedua:
Karena kepicikan perasaan kedaerahan. Otonomi daerah telah merangsang nafsu yang merasa putera-puteri daerah untuk menguasai tempat basah. Posisi politis yang strategis dilihat sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dan keluarga serta membangun “kerajaan” atau “trah” atau “dinasti” baru. Mereka kehilangan wawasan dan perasaan solidaritas bangsa dan tanggung jawab untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Ketiga:
Karena budaya konsumisme hedonistik. Sikap ini merupakan tantangan dan penyebab dari dalam diri kita. Konsumisme adalah sikap ketagihan para konsumen produk kapitalisme yang tidak saja para kapitalis memproduksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi juga menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru untuk kepuasan masyarakat. Akibatnya muncul life style mewah yang sudah tidak memperhatikan lagi azas manfaat tetapi cenderung demi mengikuti trend gaya hidup yang konsumtif hedonis. Dampaknya adalah kurang menghargai produk lokal yang dipandang kurang memberikan pretise gaya hidup modern yang salah diartikan.
Keempat:
Karena ideologi-ideologi totaliter. Suatu ideologi dikatakan totaliter karena paham atau ajarannya yang mengklaim memiliki kebenaran mutlak serta menuntut ketaatan tanpa reserve. Ideologi komunisme dan nazisme merupakan ideologi totaliter yang dikelompokan sebagai ideologi ekstrim kiri. Sedangkan ideolog religius yang fundamentalis dikelompokkan sebagai ideologi totaliter/ekstrim kanan. Keduanya dapat mengancam akan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Dalam teori sosialisasi atau pendidikan ada sejumlah sarana/media/agen/jalur yang dapat digunakan untuk membangun atau meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, yakni keluarga, teman sebaya/pergaulan, sekolah, organisasi, dan media massa. Semua dapat berperan dengan kelebihan dan kekurangannya.
Ada kesan dengan harga mati Pancasila sebagai ideologi yang tidak perlu dipermasalahkan lagi seolah-olah Pancasila tidak perlu disosialisasikan toh masyarakat sudah menerima. Pemerintah lupa bahwa generasi selalu berganti dan harus terus menerus diberikan pendidikan kebangsaan bagi generasi baru demi kesinambungan NKRI.
Rakyat dan Bangsa Indonesia berkewajiban meningkatkan kewaspadaan nasional; terutama menghadapi tantangan masa depan yang amat mendasar dan mendesak. Tantangan demikian meliputi:
1.      Tantangan bahkan ancaman atas integritas NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila yang terjabar dalam UUD Proklamasi 1945 seutuhnya. Karena, amandemen (Perubahan I-IV) oleh MPR telah amat jauh mengalami distorsi (penyimpangan) dari amanat PPKI sebagai pendiri negara dan representasi The Founding Fathers.
Analisa normatik ini terbukti dari data, fenomena, dan praktek sosial budaya dan ekonomi pemerintahan oleh elit reformasi, seperti:
a.         UUD Proklamasi 1945 tidak dapat lagi dinamakan UUD 1945, karena banyaknya penyimpangan; sehingga menampilkan nilai baru yang belum sesuai dengan Dasar Negara Pancasila---sehingga dapat kita namakan lebih tepat sebagai UUD 2002---(karena proses perubahan berlangsung 4 tahap: 1999-2002).
b.        Perubahan melahirkan berbagai kontroversial, baik filosofis ideologis, maupun konstitusional dan fungsional.
c.         Tumbuhnya sikap mental dan budaya neo liberalism baik dalam tatanan sosial politik, ekonomi, dan budaya maupun mental dan moral sebagian masyarakat---sehingga sikap dan budaya kekeluargaan, dan kerukunan berubah menjadi konflik horisontal, konflik internal berbagai Parpol dan bermuara disintegrasi nasional.
2.      Akibat landasan dan pedoman UUD 2002 maka praktek dan budaya sosial politik serta ekonomi bangsa ditandai oleh budaya Liberalisme (Demokrasi Liberal); ekonomi Liberal (ajaran Kapitalisme); yang bermuara sebagai fenomena dominasi dan supremasi neo-imperialisme. Maknanya bangsa Indonesia bukan mempraktekkan dan membudayakan dasar negara dan ideologi negara Pancasila, melainkan mempraktekkan ideologi Liberalisme-Kapitalisme.
3.      Secara soisal psikologis dan sosial kultural kondisi dan fenomena era reformasi --- berkat UUD 2002---rakyat Indonesia cenderung tidak memiliki kebanggaan nasional; bahkan dapat kehilangan jatidiri nasional!
4.      Bangsa dan NKRI dalam kepemimpinan elit reformasi belum mampu mengatasi krisis multi dimensional yang mengancam integritas nasional. Kondisi demikian makin diperparah karena budaya kepemimpinan neo-liberalisme yang lebih mengutamakan  motifasi kompetitif---sebagai kita saksikan dalam media, lebih-lebih menjelang Pemilu melalui budaya kampanye yang lebih liberal dari di negara negara liberal.
5.      Praktek Otoda menjadi budaya negara federal; egoisme kedaerahan---semua calon pimpinan di daerah senantiasa harus putera daerah; sehingga nasionalisme Indonesia se-nusantara menjadi kesukuan, primordialisme---. Praktek demikian adalah penyimpangan dari nilai Sila III Pancasila, NKRI, dan Wawasan Nusantara sebagai ideologi nasional kita! Jadi, bila kita menyimpang dan atau tidak mengamalkannya, dapatkah kita mengakui bahwa kita masih setia dengan ideologi negara Pancasila? Saya menganggap, inilah pengkhianatan (baca:= makar); sehingga sesungguhnya kita membudayakan ideologi lain selain Pancasila (baca: ideologi neo-liberalisme!).
6.      Pemimpin berbagai kelembagaan negara---tingkat pusat dan daerah---dalam kampanye menjanjikan berbagai kebijakan, strategi, dan program pembangunan untuk kesejahteraan dan keadilan rakyat yang diharapkannya simpati dan memilih mereka. Setelah Pemilu, mereka terpilih dan menjabat jabatan yang cukup memiliki otoritas dan legalitas menurut hukum perundangan yang berlaku. Tetapi, dalam praktek sosial politik kelembagaan mereka terhambat (=terjegal) oleh persaingan egoisme tokoh dan atau Parpol masing-masing. Mereka tidak mau saingannya ketika Pemilu dapat merealisasikan janji-janji politiknya……yang akan memberikan kepercayaan rakyat untuk memilihnya kembali! Karenanya, mereka sebagai elit pemerintahan bukanlah fokus berjuang mengabdi demi kepentingan rakyat/bangsa, melainkan kepentingan egoisme pribadi dan atau Parpol/golongannya.
7.      Praktek Demokrasi Liberal sungguh lebih liberal dari di negara-negara liberal, seperti di Eropa dan Amerika. Mereka mempraktekkan demokrasi liberal dengan asas: Majority Ruler, Minority Rights (=mayoritas memerintah, dengan menjamin/mengayomi hak-hak minoritas). Budaya dan moral demokrasi demikian belum dihayati oleh elit reformasi. Dalam praktek yang kita saksikan adalah:
a.       Demokrasi Liberal dengan kriteria bukan mayoritas (51%) atas minoritas; melainkan mayoritas sebagai suara yang lebih banyak dari calon lainnya (misal: 25-30% sudah sah) untuk jadi pemimpin.
b.      Pemilu, terutama Pilkada cenderung menjadi praktek demokrasi yang bukan murni sebagaimana kaidah demokrasi. Kita menyaksikan adanya berbagai penyimpangan sehingga yang kalah tidak mengakui yang menang---akhirnya, Pilkada diulang dengan biaya tinggi+social costs juga tinggi…. sampai  minta penyelesaian Lembaga Hukum, termasuk MK.
c.       Praktek demokrasi dalam era reformasi kita saksikan menjadi: oligarchy, plutocracy, dan anarchy (=kekuasaan di tangan segelintir elit parpol; kekuasaan kaum kapilatalis/money politics, dan anarkisme seperti kasus Medan!
8.      Era reformasi dengan UUD 2002 banyak melahirkan lembaga (suprastruktur) ad hoc dengan otoritas dan legalitas sederajat bahkan lebih dari otoritas kelembagaan negara; seperti: berbagai komisi: KPK, Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional, dan masih banyak lainnya. Semua komisi ini praktek kekuasaannya over lapping dengan berbagai lembaga kenegaraan. Dapatkah badan-badan ad hoc ini dinamakan konstitusional sekalipun didasarkan atas suatu undang-undang. Kami menganggap badan-badan dimaksud bersifat ekstra konstitusional---yang seharusnya hanya untuk transisi kondisi era reformasi---.
9.      Tantangan yang wajib diwaspadai oleh seluruh rakyat warga negara, lebih-lebih elit reformasi dan pemimpin bangsa ialah ancaman: neo-imperialisme yang mempraktekkan (menggoda dan melanda) dunia atas nama postmoderrnism  yang bermuara neo-imperialism….sinergis dengan kebangkitan neo-PKI (Komunis Gaya Baru/KGB) di dalam NKRI. Potensi mereka semua bertujuan meruntuhkan integritas NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila; sekaligus meruntuhkan integritas mental-moral SDM Indonesia yang dijiwai Filsafat Pancasila (theisme religious) dan manusia Indonesia yang agamis! Inilah ancaman yang meruntuhkan martabat manusia dan kemanusiaan sekaligus martabat peradaban---dari peradaban religius, menjadi peradaban: sekularisme, materialisme, atheisme; yang nampak dalam fenomena: neo-liberalisme, bahkan free love, free sex, yang menjamur di negara barat. ---
Adakah, dan sempatkah elit reformasi merenungkan tantangan dan ancaman di atas (hayati: isi skema berikut); sekaligus mengaudit reformasi yang mereka perjuangkan. Adalah rasional, setiap perjuangan dan karya dievaluasi (audit) untuk menilai neraca: untung-rugi (sukses atau gagal) perjuangan kita. Adalah kewajiban moral kita semua untuk menilai diri sendiri demi kebaikan langkah selanjutnya; dan lebih daripada itu adalah kewajiban moral sebagai pengabdian bagi nusa bangsa dan negara kita tercinta untuk mendharmabaktikan kebajikan terbaik bagi generasi penerus.
Semoga kita sadar, sejarah hidup pribadi kita tidaklah panjang (hanya sekitar 60-80 tahun); sebagai bagian dari mata rantai sejarah nasional yang lestari generasi demi generasi.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa senantiasa memberkati kita rakyat, bangsa Indonesia dan semua generasi selanjutnya dalam  NKRI sebagai sistem kenegaraan PancasilKesadaran Berbangsa dan Bernegara Indonesia serta menjadikan bangsa Indonesia kuat dalam segala hal AMIEN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar