”Pemahaman Wawasan Kebangsaan Untuk Ketahanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI )Tercinta guna Antisiapsi Gerakan Komunis &
Terorisme”
“Perjuangan Mewujudkan Negeri Ini Terhormat di Muka Bumi adalah Pusaka
Pendiri Bangsa yang Dititahkan untuk Generasi Muda”
(Kidung Perjuangan Pemuda)
Konsep atau makna kesadaran dapat diartikan sebagai
sikap perilaku diri yang tumbuh dari kemauan diri dengan dilandasai suasana
hati yang ikhlas/rela tanpa tekanan dari luar untuk bertindak yang umumnya
dalam upaya mewujudkan kebaikan yang berguna untuk diri sendiri dan Bangsanya.
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara Indonesia mempunyai makna
bahwa individu yang hidup dan terikat dalam kaidah dan naungan di bawah Negara
Kesatuan RI harus mempunyai sikap dan perilaku diri yang tumbuh dari kemauan
diri yang dilandasasi keikhlasan/kerelaan bertindak demi kebaikan Bangsa dan
Negara Indonesia.
Benarkah bahwa
kesadaran berbangsa dan bernegara rakyat Indonesia melemah, apa gejalanya, apa
penyebabnya, dan bagaimana cara mengatasinya?;
Gejala kesadaran berbangsa dan bernegara yang belum baik itu
dapat kita lihat dalam perilaku individu sebagai rakyat maupun pejabat yang
masih menunjukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah hukum, seperti mafia
hukum, merusak hutan, pencemaran lingkungan, tindak kriminalitas, lebih
mementingkan diri dan kelompok, korupsi, bersikap kedaerahan yang berlebihan
(daerahisme) atau etnisitas yang berlebihan, bertindak anarkhis, penggunaan
narkoba, kurang menghargai karya bangsa sendiri, mendewakan produk bangsa lain,
dan sebagainya. Merosotnya kesadaran berbangsa dan bernegara karena empat hal
sekaligus sebagai tantangan ke depan, yakni sebagai berikut:
Pertama:
Karena globalisasi, berkat kemajuan teknologi informasi dan
transportasi, menjadikan seakan-akan kita telah menjadi warga dunia sehingga
identitas sebagai bangsa yang mandiri dan mempunyai kharakteristik sendiri
menjadi lebur dengan bangsa lain yang juga hilang identitasnya. Akibatnya,
tumbuh dan muncul budaya dunia/global. Identitas sebagai bangsa semakin tidak
jelas. Kedaulatan semakin menjadi mitos. Ketergantungan antar Negara semakin
tinggi.
Kedua:
Karena kepicikan perasaan kedaerahan. Otonomi daerah telah
merangsang nafsu yang merasa putera-puteri daerah untuk menguasai tempat basah.
Posisi politis yang strategis dilihat sebagai kesempatan untuk memperkaya diri
dan keluarga serta membangun “kerajaan” atau “trah” atau “dinasti” baru. Mereka
kehilangan wawasan dan perasaan solidaritas bangsa dan tanggung jawab untuk
kepentingan kesejahteraan rakyat.
Ketiga:
Karena budaya konsumisme hedonistik. Sikap ini merupakan
tantangan dan penyebab dari dalam diri kita. Konsumisme adalah sikap ketagihan
para konsumen produk kapitalisme yang tidak saja para kapitalis memproduksi
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi juga menciptakan kebutuhan-kebutuhan
baru untuk kepuasan masyarakat. Akibatnya muncul life style mewah yang sudah tidak memperhatikan lagi azas manfaat
tetapi cenderung demi mengikuti trend gaya hidup yang konsumtif hedonis.
Dampaknya adalah kurang menghargai produk lokal yang dipandang kurang
memberikan pretise gaya hidup modern yang salah diartikan.
Keempat:
Karena ideologi-ideologi totaliter. Suatu ideologi dikatakan
totaliter karena paham atau ajarannya yang mengklaim memiliki kebenaran mutlak
serta menuntut ketaatan tanpa reserve. Ideologi komunisme dan nazisme merupakan
ideologi totaliter yang dikelompokan sebagai ideologi ekstrim kiri. Sedangkan
ideolog religius yang fundamentalis dikelompokkan sebagai ideologi totaliter/ekstrim
kanan. Keduanya dapat mengancam akan kesadaran berbangsa dan bernegara.
Dalam teori sosialisasi atau
pendidikan ada sejumlah sarana/media/agen/jalur yang dapat digunakan untuk
membangun atau meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, yakni keluarga,
teman sebaya/pergaulan, sekolah, organisasi, dan media massa. Semua dapat
berperan dengan kelebihan dan kekurangannya.
Ada kesan dengan harga mati Pancasila sebagai ideologi yang
tidak perlu dipermasalahkan lagi seolah-olah Pancasila tidak perlu
disosialisasikan toh masyarakat sudah menerima. Pemerintah lupa bahwa generasi
selalu berganti dan harus terus menerus diberikan pendidikan kebangsaan bagi
generasi baru demi kesinambungan NKRI.
Rakyat dan Bangsa Indonesia berkewajiban meningkatkan kewaspadaan
nasional; terutama menghadapi tantangan masa depan yang amat mendasar dan
mendesak. Tantangan demikian meliputi:
1. Tantangan
bahkan ancaman atas integritas NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila yang
terjabar dalam UUD Proklamasi 1945 seutuhnya. Karena, amandemen (Perubahan
I-IV) oleh MPR telah amat jauh mengalami distorsi (penyimpangan) dari amanat
PPKI sebagai pendiri negara dan representasi The Founding Fathers.
Analisa normatik ini terbukti dari data, fenomena, dan praktek sosial
budaya dan ekonomi pemerintahan oleh elit reformasi, seperti:
a.
UUD Proklamasi 1945 tidak dapat lagi dinamakan
UUD 1945, karena banyaknya penyimpangan; sehingga menampilkan nilai baru yang
belum sesuai dengan Dasar Negara Pancasila---sehingga dapat kita namakan lebih
tepat sebagai UUD 2002---(karena proses perubahan berlangsung 4 tahap:
1999-2002).
b.
Perubahan melahirkan berbagai kontroversial,
baik filosofis ideologis, maupun konstitusional dan fungsional.
c.
Tumbuhnya sikap mental dan budaya neo liberalism
baik dalam tatanan sosial politik, ekonomi, dan budaya maupun mental dan moral
sebagian masyarakat---sehingga sikap dan budaya kekeluargaan, dan kerukunan
berubah menjadi konflik horisontal, konflik internal berbagai Parpol dan
bermuara disintegrasi nasional.
2. Akibat
landasan dan pedoman UUD 2002 maka praktek dan budaya sosial politik serta
ekonomi bangsa ditandai oleh budaya Liberalisme (Demokrasi Liberal); ekonomi
Liberal (ajaran Kapitalisme); yang bermuara sebagai fenomena dominasi dan
supremasi neo-imperialisme. Maknanya bangsa Indonesia bukan mempraktekkan dan
membudayakan dasar negara dan ideologi negara Pancasila, melainkan
mempraktekkan ideologi Liberalisme-Kapitalisme.
3. Secara
soisal psikologis dan sosial kultural kondisi dan fenomena era reformasi ---
berkat UUD 2002---rakyat Indonesia cenderung tidak memiliki kebanggaan
nasional; bahkan dapat kehilangan jatidiri nasional!
4. Bangsa
dan NKRI dalam kepemimpinan elit reformasi belum mampu mengatasi krisis multi
dimensional yang mengancam integritas nasional. Kondisi demikian makin
diperparah karena budaya kepemimpinan neo-liberalisme yang lebih
mengutamakan motifasi
kompetitif---sebagai kita saksikan dalam media, lebih-lebih menjelang Pemilu
melalui budaya kampanye yang lebih liberal dari di negara negara liberal.
5. Praktek
Otoda menjadi budaya negara federal; egoisme kedaerahan---semua calon pimpinan
di daerah senantiasa harus putera daerah; sehingga nasionalisme Indonesia
se-nusantara menjadi kesukuan, primordialisme---. Praktek demikian adalah
penyimpangan dari nilai Sila III Pancasila, NKRI, dan Wawasan Nusantara sebagai
ideologi nasional kita! Jadi, bila kita menyimpang dan atau tidak
mengamalkannya, dapatkah kita mengakui bahwa kita masih setia dengan ideologi
negara Pancasila? Saya menganggap, inilah pengkhianatan (baca:= makar);
sehingga sesungguhnya kita membudayakan ideologi lain selain Pancasila (baca:
ideologi neo-liberalisme!).
6. Pemimpin
berbagai kelembagaan negara---tingkat pusat dan daerah---dalam kampanye
menjanjikan berbagai kebijakan, strategi, dan program pembangunan untuk
kesejahteraan dan keadilan rakyat yang diharapkannya simpati dan memilih
mereka. Setelah Pemilu, mereka terpilih dan menjabat jabatan yang cukup
memiliki otoritas dan legalitas menurut hukum perundangan yang berlaku. Tetapi,
dalam praktek sosial politik kelembagaan mereka terhambat (=terjegal) oleh persaingan egoisme tokoh dan atau Parpol
masing-masing. Mereka tidak mau saingannya ketika Pemilu dapat merealisasikan
janji-janji politiknya……yang akan memberikan kepercayaan rakyat untuk memilihnya
kembali! Karenanya, mereka sebagai elit pemerintahan bukanlah fokus berjuang
mengabdi demi kepentingan rakyat/bangsa, melainkan kepentingan egoisme pribadi
dan atau Parpol/golongannya.
7. Praktek
Demokrasi Liberal sungguh lebih liberal dari di negara-negara liberal, seperti
di Eropa dan Amerika. Mereka mempraktekkan demokrasi liberal dengan asas: Majority Ruler, Minority Rights
(=mayoritas memerintah, dengan menjamin/mengayomi hak-hak minoritas). Budaya
dan moral demokrasi demikian belum dihayati oleh elit reformasi. Dalam praktek
yang kita saksikan adalah:
a. Demokrasi
Liberal dengan kriteria bukan mayoritas (51%) atas minoritas; melainkan
mayoritas sebagai suara yang lebih banyak dari calon lainnya (misal: 25-30%
sudah sah) untuk jadi pemimpin.
b. Pemilu,
terutama Pilkada cenderung menjadi praktek demokrasi yang bukan murni
sebagaimana kaidah demokrasi. Kita menyaksikan adanya berbagai penyimpangan
sehingga yang kalah tidak mengakui yang menang---akhirnya, Pilkada diulang
dengan biaya tinggi+social costs juga
tinggi…. sampai minta penyelesaian
Lembaga Hukum, termasuk MK.
c. Praktek
demokrasi dalam era reformasi kita saksikan menjadi: oligarchy, plutocracy, dan anarchy
(=kekuasaan di tangan segelintir elit parpol; kekuasaan kaum kapilatalis/money politics, dan anarkisme seperti
kasus Medan!
8. Era
reformasi dengan UUD 2002 banyak melahirkan lembaga (suprastruktur) ad hoc dengan otoritas dan legalitas
sederajat bahkan lebih dari otoritas kelembagaan negara; seperti: berbagai
komisi: KPK, Komisi Ombudsman, Komisi Hukum Nasional, dan masih banyak lainnya.
Semua komisi ini praktek kekuasaannya over lapping dengan berbagai lembaga
kenegaraan. Dapatkah badan-badan ad hoc ini dinamakan konstitusional sekalipun
didasarkan atas suatu undang-undang. Kami menganggap badan-badan dimaksud
bersifat ekstra konstitusional---yang seharusnya hanya untuk transisi kondisi
era reformasi---.
9. Tantangan
yang wajib diwaspadai oleh seluruh rakyat warga negara, lebih-lebih elit
reformasi dan pemimpin bangsa ialah ancaman: neo-imperialisme yang mempraktekkan
(menggoda dan melanda) dunia atas nama postmoderrnism yang bermuara neo-imperialism….sinergis
dengan kebangkitan neo-PKI (Komunis Gaya Baru/KGB) di dalam NKRI. Potensi
mereka semua bertujuan meruntuhkan integritas NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila;
sekaligus meruntuhkan integritas mental-moral SDM Indonesia yang dijiwai
Filsafat Pancasila (theisme religious)
dan manusia Indonesia yang agamis! Inilah ancaman yang meruntuhkan martabat
manusia dan kemanusiaan sekaligus martabat peradaban---dari peradaban religius,
menjadi peradaban: sekularisme, materialisme, atheisme; yang nampak dalam
fenomena: neo-liberalisme, bahkan free love, free sex, yang menjamur di negara
barat. ---
Adakah, dan sempatkah elit reformasi merenungkan tantangan dan ancaman di
atas (hayati: isi skema berikut); sekaligus mengaudit reformasi yang mereka perjuangkan. Adalah rasional,
setiap perjuangan dan karya dievaluasi (audit) untuk menilai neraca:
untung-rugi (sukses atau gagal) perjuangan kita. Adalah kewajiban moral kita
semua untuk menilai diri sendiri demi kebaikan langkah selanjutnya; dan lebih
daripada itu adalah kewajiban moral sebagai pengabdian bagi nusa bangsa dan
negara kita tercinta untuk mendharmabaktikan kebajikan terbaik bagi generasi
penerus.
Semoga kita sadar, sejarah hidup pribadi kita tidaklah panjang (hanya
sekitar 60-80 tahun); sebagai bagian dari mata rantai sejarah nasional yang
lestari generasi demi generasi.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa senantiasa memberkati kita rakyat, bangsa
Indonesia dan semua generasi selanjutnya dalam
NKRI sebagai sistem kenegaraan PancasilKesadaran
Berbangsa dan Bernegara Indonesia serta menjadikan bangsa Indonesia kuat dalam
segala hal AMIEN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar